Rabu, 15 Juli 2009

Aksi Mahasiswa, Isunya tidak Populis di Mata Masyarakat

0 komentar

Apakah gunanya pendidikan…bila hanya membuat seseorang menjadi asing…ditengah kenyataan persoalan…bila akhirnya…ketika ia pulang ke daerahnya…lalu berkata, “Di sini aku merasa asing dan sepi.”
(Dari seonggok jagung, W.S Rendra)

Kutipan puisi di atas merupakan gambaran dari fenomena yang terjadi pada mahasiswa sekarang, mahasiswa yang dikenal dengan sebutan agent of change karena prilakunya yang progresif revolusioner, mahasiswa yang dikenang telah mengisi banyak peran penting dalam keberlangsungan Negara dengan membawa berbagai perubahan, saat ini tidak lagi menjadi icon untuk sebuah perubahan, perjuangan bahkan menjadi gantungan harapan. Sekarang mahasiswa lebih disibukan dengan mengejar Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3 ‘koma’ dan lulus cepat. Bukanlah sebuah kekeliruan jika mahasiswa disibukkan dengan hal itu, hanya saja jelas menyimpang dari tujuan pendidikan tinggi itu sendiri, saat mahasiswa justru membangun tembok pemisah lalu mengasingkan diri dari masyarakat dan perkembangan bangsa dimana mahasiswa menjadi kebanggaan dan harapan.
Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat), mungkin tidak sedikit mahasiswa era sekarang yang tidak tahu makna dari Tri Dharma. Namun bagaimana pun juga, konsep Tri Dharma yang muncul dari tahun 1970 ini ternyata sangat berarti bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih miskin akan ilmu pengetahuan (pendidikan). Seperti yang ada di Tri Dharma ketiga (pengabdian pada masyarakat) yang sekarang banyak dilupakan oleh mahasiswa, padahal ilmu pengetahuan yang mahasiswa dapatkan selama di bangku kuliah dapat diaplikasikan dan bermanfaat bagi masyarakat, ketimbang diaplikasikan di tempat dugem atau menjadi koruptor bagi masyarakatnya sendiri. Karena , kalau mahasiswa belum mengabdi pada masyarakat, maka mahasiswa tersebut belum menjadi mahasiswa yang seutuhnya.
Mahasiswa dalah salah satu unsur masyarakat yang memunyai bargaining position bagi satu perubahan dalam negeri, karena status sebagai mahasiswa secara otomatis telah menempatkan individu pada suatu kualitas dimana ia dapat menjalankan fungsi kontrol tanpa batas. Tentu apabila mahasiswa tidak memposisikan dirinya sebagai penghuni bangku kuliah yang pasif, akan tetapi dalam kesehariannya selalu memfungsikan daya monitoring terhadap perkembangan yang ada, terutama pada pemerintah dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan. Perlu dipertegas, bahwa status ini menempatkan mahasiswa di posisi paling strategis di ranah percaturan politik bangsa, dan secara otomatis menjadi strategis di bidang lain.
Memang, segala hal memunyai konsekuensi tersendiri, karena kestrategisan inilah aktifis gerakan mahasiswa punya banyak peluang yang strategis pula di lapangan, istilah yang ‘memahasiswa’ adalah ‘proyek’ yang sekaligus memunculkan konflik antar bendera di tubuh gerakan mahasiswa itu sendiri, yang merupakan buah dari rasa saling curiga. Namun pantaskah dinamika ini menjadi alasan mahasiswa menjadi gerah dan malas untuk ikut berpikir soal bangsa dan masyarakatnya? Mungkin kaum muda Indonesia telah salah menafsirkan makna peace yang sering dikampanyekan ’entertaint keren’ pujaannya.
Gerakan mahasiswa ’98 merupakan fenomena unik, bagaimana tidak, setelah kurang dari 20 tahun intelektualitas mahasiswa dipasung oleh kebijakan Normalisasi Kegiatan kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), dimana kebebasan berpikir dan berekspresi yang menjadi ciri mahasiswa dibelenggu, diskursus-diskursus nasional tidak berhasil diangkat mahasiswa, dan semua kritik membeku seiring dengan semakin mengguritanya kebijakan-kebijakan dan pembangunan Orba yang semu. Namun dari kebekuan itu muncul teriakan keras dengan tangan kiri menjulang terkepal menuntut reformasi. Dukungan pada gerakan yang dilabeli gerakan moral intelektual itu terus mengalir, Indonesia terbenam lautan semangat perjuangan dengan satu tujuan, “Runtuhkan rezim Orba!”Soeharto pun terpaksa harus angkat kaki dari kursi yang telah di dudukinya selama 32 tahun dan nama mahasiswa lah yang disebut pahlawan, mahasiswa Berjaya. Lalu selesaikah tugas mahasiswa? Apakah perayaan kemenangan yang terlalu lama hingga membenamkan ide untuk melanjutkan sejarah yang sebenarnya baru saja dimulai? Atau kah kepercayaan penuh yang telah diberikan kepada adik-adik penerus untuk melanjutkan sawah yang baru saja selesai dibersihkan? Atau memang tidak pernah ada susunan agenda untuk melanjutkan sebuah cita-cita?
Paca lengsernya Soeharto dari kursi pemerintahan 1998, gerakan mahasiswa tetap ada sampai tahun 2002, namun masa berikutnya gerakan mahasiswa mulai kehilangan ‘taring’, itu bisa dilihat dari aksi-aksi mahasiswa yang tidak konsisten untuk terus memonitoring isu yang diangkat, hingga pemerintah pun bisa tenang tanpa harus mengelus dada jika ada aksi mahasiswa. Seperti yang dikemukakan Yudi selaku Ketua II Liga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND) pusat, yang melihat karena tidak berjalannya agenda reformasi sehingga mengakibatkan gerakan mahasiswa sekarang menjadi kehilangan arah, “gerakan mahasiswa sekarang seolah-olah tidak memunyai tujuan pasti, mereka mau kemana dan apa yang mereka inginkan,” tuturnya.
Selanjutnya wacana yang berekembang dikalangan mahasiswa yang masih intens dalam gerakan, khususnya yang kecewa akan keadaan dan pola pikir mahasiswa di era reformasi, bahwa hilangnya arah gerak mahasiswa saat ini karena imbas dari kurang matangnya konsep reformasi itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Andrian selaku Kabag Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bandung. menurut Andrian, penggulingan Orde Baru hanya terfokus pada pemimpinnya saja ‘Soeharto’, sementara sistem yang dibangun oleh rezim tersebut selama 32 tahun masih mengakar kuat, “itu tidak disadari oleh gerakan mahasiswa sekarang,” tuturnya.

Lamunan para demonstran
“Satu komando, satu perjuangan”
Itu yang sering kita dengar ketika mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan. Namun yel-yel pemicu semangat tersebut sepantasnya pula dikembalikan dalam bentuk pertanyaan, benarkah ada persatuan untuk sebuah perjuangan dari berbagai bendera yang diusung oleh gerakan mahasiswa? Atau dapat dipertanyakan ulang, apakah aksi turun ke jalan, mengutuk, mencaci, memblokir jalan, dan berbagai aksi yang mengatasnamakan rakyat dengan segala aksesoris tindakan yang meresahkan masyarakat pada umumnya itu layak disebut perjuangan?
Aksi demonstrasi memang salah satu cara mahasiswa untuk meneriakan aspirasinya ketika kaum intelektual ini merasa gelisah, namun terlepas dari berbagai kegelisahan mahasiswa era ‘3 G’ ini, sepantasnya kita bertanya apakah aksi demonstrasi adalah satu-satunya cara mahasiswa untuk mengungkapkan aspirasi rakyat.
Berbicara soal aspirasi, seorang aktifis era 1970-an, dr Hariman Siregar, punya pendapat sendiri menanggapi soal aksi mahasiswa yang sepi peminat ketimbang bobotoh persib. Menurut Hariman, permasalahan terletak pada isu yang diusung oleh aktifis gerakan sekarang yang kurang populis di mata masyarakat, “Gerakan mahasiswa akan menjadi besar jika isunya menyentuh semua orang,” katanya. Pernyataan seorang Hariman memang tidak berlebihan, sebuah gerakan akan menjadi besar jika memang isu yang diangkat adalah kepentingan dari semua pihak atau dengan kata lain isu tersebut memang layak untuk mengatasnamakan rakyat, bukan dari kelompok-kelompok tertentu yang memunyai kepentingan tersendiri, “makanya aksi itu nggak laku,” ketus Hariman.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, mahasiswa merupakan pelopor perubahan bangsa. Pada zaman Orde baru, pemerintah sangat takut jika mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Oleh karena itu pada 1978, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa larangan terhadap organisasi intra kampus (pada saat itu bernama Dewan Mahasiswa) terjun ke dalam politik praktis. NKK/BKK, kebijakan tersebut dilatarbelakangi ketika mahasiswa menolak kembali pencalonan Soeharto pasca Pemilu Tahun 1977.
Melihat fenomena yang terjadi pada gerakan mahasiswa sekarang, terlihat jelas aksi yang diusung mahasiswa sekarang tidak mampu medapat respon dari masyarakat, “Dulu antara mahasiswa dengan masyarakat sangat bersatu,” tutur Wimar Witoelar, aktifis di era 1966, “kalau kita demo, nginep dimana saja kita selalu dikasih nasi bungkus sama masyarakat,” tambahnya.
Kedekatan hubungan antara mahasiswa dengan masyarakat pada era itu, karena begitu besar pula harapan masyarakat terhadap mahasiswa untuk membawa perbaikan, “Waktu itu masyarakat menganggap mahasiswa akan membawa perbaikan,” kenangnya.
Namun, Ahdian dari Forum Kota (Forkot) merasa tetap yakin bahwa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa, apakah itu besar atau kecil akan tetap memunyai nilai arti bagi pemerintahan, “Pengkritisan terhadap pemerintahan itu harus dilakukan dengan aksi kecil maupun besar,” katanya. Namun tetap saja tidak dapat dipungkiri, bahwa tingkat kejenuhan masyarakat terhadap aksi gerakan mahasiswa sudah semakin meningkat, “masyarakat sudah menganggap aksi mahasiswa ini sudah tidak berarti,” tambahnya.
Menjadi sebuah keniscayaan memang bilamana gerakan mahasiswa tanpa didukung oleh rakyatnya sendiri, namun apakah gerakan harus berhenti? Tentu tidak, tapi dapatkah kita meredakan ego sedikit saja untuk berhenti sejenak dan memahami alur gerak yang mampu ‘menggerakkan’ gerakan itu sendiri, karena kita kadang menyangka dengan ego kita yang tinggi, bahwa semua lamunan tentang massa benar tanpa celah.

“putch” itu satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu biasanya membuat rancangannya menurut kemauan dan kecakapan sendiri dengan tidak memperdulikan perasaan dan kesanggupan massa, ia sekonyong-konyong keluar dari guanya dengan tidak memperhitungkan terlebih dulu, apakah saat itu bermassa-aksi sudah matang atau belum. Dia menyangka, bahwa semua lamunannya tentang massa benar sama sekali.
(dikutip: Tan Malaka, Aksi Massa. Hal 120)

Di muat di tabloid JUMPA
Edisi 32 Tahun 2007

Minggu, 12 Juli 2009

Perda, Apakah Sebuah Solusi ?

2 komentar

Jam menunjukan pukul 9 Pagi, seperti hari biasanya kota Bandung selalu diisi dengan segala kesibukan dan aktifitas para penduduknya. Tak terkecuali di jalan Dipenogoro No 22 Bandung, tepatnya di gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Jawa Barat.
Setelah melewati perdebatan yang cukup a lot antara pihak pemerintah dan para difabel, akhirnya Rabu 3 Oktober 2006 diadakan rapat Paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPRD Jabar H.A.M Ruslan dan pemerintah Provinsi Jabar yang diwakili oleh wakil Gubernur Nur’man Abdul Hakim untuk penandatanganan persetujuan bersama, tentang pengesahan Peraturan Daerah (Perda)mengenai penyelenggaraan perlindungan untuk kaum difabel yang sudah ditunggu hampir 7 tahun yang lalu oleh mereka (Difabel red).
Isi dari Perda ini adalah mengatur tentang kesamaan kesempatan untuk para difabel, baik dalam masalah pendidikian, pelayanan kesehatan, kesempatan untuk mendapatkan peluang pekerjaan dan aksesibilitas. Sanksi yang ditetapkan masih mengadopsi pada UU No 4 Tahun 1997, yaitu sanksi administrative berupa denda 200 juta rupiah dan sanksi Pidana kurungan 6 bulan penjara.
Ini merupakan babk baru dalam sejarah Otonomi daerah di Indonesia dan sebagai kunci awal menghapus stigma dan diskriminasi terhadap kaum difabe di Jawa barat. Bagaimana tidak, Perda ini merupakan Perda pertama kali di Indonesia yang membahas tentang perlindungan difabel, “artinya bagi para difabel, khususnya di Jabar, mereka perlu berbahagia dengan ditetapkannya Perda ini, karena selama ini UU yang ada, misalnya UU No 4 Tahun 1997 dan PP No 43 Tahun 1998 itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, jadi dengan adanya Perda ini mudah-mudahan para pejabat setempat serta masyarakat di daerah Jabar ini terdorong untuk melaksanakan UU dan PP tersebut” tutur Amad Adib selaku Wakil Ketua Komisi A DPRD saat ditemui kru Jumpa di ruangannya.

Berawal dari kekecewaan
Tidak semudah seperti yang dibayangkan, pengesahan Perda ini melawati perjalanan yang sangat panjang. Tahun 1997 lalu, pemerintah telah mengeluarkan UU No 4 tentang difabel, UU tersebut membahas tentang hak kaum difabel dalam mendapatkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, sama seperti masyarakat lain pada umumnya. Tahun 1998 Pemerintah kembali mengeluarkan peraturan (Peraturan Pemerintah) No 43 tentang upaya peningkatan kesejahteraan difabel. Namun peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah tidak dijalanmkan oleh para aparatur pemerintah sebagaimana mestinya “Walau pun sudah ada UU, implementasinya masih jauh” tutur Jumono selaku Ketua Forum Perjuangan Difabel (FORADI).
Akhrnya pada 1999 bergulir wacana di kalangan para difabel untuk mengusulkan harus adanya Perda tentang perlindungan difabel. Beberapa kelompok yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda Pelajar Tuna Netra, pada 1999 mengusulkan harus adanya perlindungan untuk kaum difabel pada pihak DPRD Jabar. Namun waktu itu hanya bersifat wacana, karena dengan harapan pihak pemerintah yang akan menindaklanjuti wacana tersebut, “dari pihak pemerintah sendiri pun berjanji akan menindaklanjuti, tapi tatkala kami dari pihak difabel menanyakan kepada pihak DPRD, mereka selalu berdalih tidak adanya anggaran dari pusat,” tutur Yudi Yusfar selaku coordinator Komunitas difabel untuk Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA).
Karena tidak puas dengan jawaban yang mereka terima dari DPRD, setahun kemudian para difabel kembali menggulirkan wacana tentang harus adanya Perda, akan tetapi jawaban yang diterima sama dengan tahun sebelumnya, “hal tersebut akan kami tamping,” ungkap Yudi sambil memeragakan jawaban dari pihak DPRD.
Tahun berikutnya, Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) wilayah Jabar sepakat untuk mengajukan konsep secara tertulis, yaitu dengan memberikan draft Raperda langsung kepada DPRD, tentu saja setelah melawati beberapa tahapan, seperti pembentukan tim Raperda, inventarisai permasalahan yang akan diajukan dalam Raperda tersebut, lalu penyelenggaraan penghalusan dan pengayaan isi Raperda dengan menyelenggarakan symposium, diskusi dan tukar pendapat dengan para pakar ahli seperti Sosiolog, Hukum Kesehteraan Sosial dan Pendidikan. Setelah melewati tahapan-tahapan tersebut, para difabel langsung menyerahkan draft kepada DPRD untuk selanjutnya mereka bahas, setelah draft tersebut diterima oleh pihak DPRD Komisi A, para difabel masih mengalami kesulitan, “kami dari difabel kembali mengalami kesulitan, tidak ada tindak lanjut dari pihak DPRD” tutur Yudi.
Bersamaan dengan itu, para difabel juga melakukan lobi dengan pihak LSM dan Perguruan Tinggi. Memasuki tahun 2003, berbagai pihak dari organisasi difabel yang lainnya mengusulkan hal yang sama, yaitu harus adanya Perda tentang perlindungan untuk difabel seperti dari Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) wilayah Jabar, Persatuan Tuna Netra Indonesia dan Forum Pekerja Hak tetap Tuna Netra Indonesia. Walaupun spesifikasinya berbeda, namun tetap satu tujuan, “hal tersebut juga sempat dibahas sebentar oleh DPRD, dan lagi-lagi mengalami stagnasi, wallahuallam kenapa,” tutur Yudi.

DPRD cendrung memilah-milih
Angin segar pun berhembus pada 2005, dimana Menteri dalam Negeri menayangkan surat No 10 Tahun 2005 kepada para pejabat daerah tentang perlunya penanganan terhadap para difabel, surat tersebut diperkuat ketika Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membacakan pidato di Istana Negara bertepatan dengan hari penyandang cacat nasional. Dalam pidatonya SBY memberikan mandate agar setiap Gubernur, Wali Kota dan Bupati untuk membuat Perda tentang difabel. Seelah adanya perintah langsung dari Presiden dan Menteri, para Pejabat Pemerintahan Pun termasuk DPRD mujlai serius membahas Raperda tersebut. Yudi mengungkapakan kalau DPRD selalu meilah-milih untuk membahas Perda, “Padahalkan tidak mesti begitu dalam membuat sebuah aturan, apalagi ini menyangkut tentang kepentingan social, mau yang mana juga harus disamakan” katanya.
Para difabel tidak mengharapakan sesuatu yang lebih untuk menjalani hidupnya, yang mereka inginkan adalah mendapatkan kesamaan kesempatan seperti masyarakat lain pada umumnya. Mungkin yang menjadi kendala bukanlah dari hal anggaran untuk membuat sebuah Perda. Tetapi akibat dari kurangnya pemahaman tentang difabel itu sendiri yang menjadi permasalahan, “seperti yang kita tahu, selalu melihat kepentingan dan keuntungan, jadi mana yang lebih menguntungkan untuk pribadi, itu yang didahulukan,” keluh Yudi. Pemerintah menganggap Perda tentang difabel ini tidak memunyai nilai jual, sehingga mengakibatkan para wakil rakyat tidak bersemangat untuk membahasnya.
Yang diharapkan dari pihak difabel sekarang adalah menunggu implementasi dari pihak pemerintah, karena selalu terbesit pertanyaan dari para difabel, apakah setelah disahkan Perda ini hanya akan menjadi sebuah draft untuk menambah prestasi pemerintah Daerah tanpa diimplementasikan, karena jika berkaca pada peraturan sebelumnya yaitu UU No 4 Tahun 1997 dan PP No 43 Tahun 1998 dimana implementasinya bisa dibilang tidak ada, “Kalau mau hitungkan, sudah berapa tahun peraturan-peraturan itu ada, tapi tetap saja kami (difabel) belum merasakan efek dari aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” keluh Yudi.
Maka agar Perda tersebut dapat berjalan dengan lancar sebagaimana yang diharapkan, Ahmad Adib ketika ditemui di ruangannya menjelaskan, akan dibentuknya Lembaga Koordinasi Penyelenggaraan Kesejahteraan difabel yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan Perda. Lembaga ini melibatkan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, para ahli serta dari para difabel itu sendiri, “Agar tidak ada negosiasi lagi, artinya siapa pun yang tidak melaksanakan aturan yang telah ditetapkan, maka akan langsung dijerat sanksi sebagaimana yang dicantumkan dalam isi Perda,” tuturnya.

Di muat di Tabloid JUMPA
Edisi 31 Tahun 2006

Rabu, 01 Juli 2009

Demokrasi, Pemilu dan Peran Pers Mahasiswa

0 komentar

Pemilu 2009 telah berlangsung sampai pada tahap pemilihian legislatif, pemilu memang bukan barang baru bagi rakyat Indonesia. Sudah 9 kali Bangsa ini melaksanakan pemilu, namun hanya pemilu 1955, 1999 dan 2004 Indonesia melaksanakan pemilu yang demokratis. Pemilu 2009 kali ini memiliki nilai tersendiri yang teramat menentukan masa depan demokrasi kita, dimana sejak reformasi 1998 hingga sekarang, masih banyak tuntutan perubahan dari masyarakat yang seperti berjalan di tempat.
Mungkin hal di atas dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis bagi negara-bangsa yang tengah berjuang memantapkan konsolidasi demokrasi setelah sekian lama berada di bawah rezim otoriter. Pemilu 2009 yang merupakan kali ketiga pemilu dilaksanakan pada era reformasi merupakan titik krusial demokrasi kita untuk menjawab pertanyaan, apakah proses demokratisasi kita dapat keluar dari perangkap anarki?
Mengapa anarki? Perkembangan-perkembangan terakhir menunjukan bahwa demokrasi lebih banyak diartikan dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya, suatu proses liberalisasi hampir disegala bidang. Kemunculan fenomena calon independen diterima sebagai tuntutan demokratis, tidak secara kritis dipahami sebagai fenomena liberalisasi ke arah kebebasan negatif. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan legislatif dengan mekanisme suara terbanyak (yang hakekatnya adalah salah satu prosedur dalam demokrasi) diesensikan sebagai kedaulatan rakyat. Keputusannya yang membuat persaingan kursi legislatif bukan lagi antar partai politik, akan tetapi menjadi persaingan tajam antar caleg baik dari parpol yang berbeda maupun yang sama. Desentralisasi yang awalnya kita sambut sebagai langkah strategis memperkuat demokrasi, kini malah dikhawatirkan akan menjadi faktor disintegrasi bangsa ketika dimaknai sekedar kebebasan untuk pemekaran daerah seluas-luasnya.
Merujuk pada kasus tuntutan pemekaran Tapanuli Utara yang berujung tewasnya ketua DPRD setempat dalam aksi unjuk rasa anarkis, kita khawatir para elit yang bermain, menyandarkan proses pemekaran daerah itu pada politik identitas etnik tertentu. Di sinilah bayangan gejala anarkisme muncul dan inilah yang membuat pemilu 2009 begitu menentukan dan besar artinya bagi masa depan demokrasi kita.
Kebebasan memang kebutuhan dasar bagi demokrasi namun kita harus ingat kebebasan yang ingin kita kembangkan di Republik Pancasila ini adalah kebebasan positif, yang mengedepankan kemaslahatan publik, bukan kebebasan negatif yang hanya memperbesar kebebasan individual semata. Demokrasi kita harus mengembangkan kebebasan positif dalam kerangka rasionalitas dan pluralitas.
Demokrasi memang tidak sesederhana yang orang bilang. Ia bukan terminologi gagah untuk sekedar diucapkan, namun merupakan sikap dan prilaku yang harus diterapkan, termasuk kerelaan untuk meninggalkan budaya kekerasan dalam menyelesaikan suatu persoalan.
Pemilu sebagai bagian penting dari proses demokrasi, harus menjadi perhatian utama kita semua warga negara yang bertanggungjawab. Melalui pemilu kita menolak jalan kekerasan sebagai pencapaian tujuan, jalan yang saat ini rasanya justru kian subur dalam praktik demokrasi kita. Mahasiswa terutamanya Pers Mahasiswa selayaknya hirau pada praktek penyaluran aspirasi yang sehat dan melibatkan dirinya dalam segala bentuk upaya mewujudkannya demi keberlangsungan demokrasi.

Peran Pers mahasiswa dalam Pemilu
Pers, yang sering digambarkan sebagai pilar ke empat dalam demokrasi tentunya juga memunyai tugas untuk turut aktif dalam menyehatkan pemilu. Pers yang ideal adalah pers yang bekerja untuk kehidupan masyarakat dan bernegara yang demokratis, fungsinya untuk menjaga terlestarikannya proses-proses politik yang demokratis dengan menjadikannya wahana bagi semua warga negara untuk di satu pihak memeroleh informasi yang terbuka tentang proses–proses politik, salah satunya pada pelaksanaan pemilu.
Salah satu bentuk bantuan pers dalam konteks ini adalah dengan memberikan informasi tentang pemilu dengan baik dan memantau bagaimana proses pemilu itu dapat berlangsung sesuai dengan prinsipnya, dengan sajian berita yang berimbang dan sesuai dengan fakta yang ada. Jika meminjam istilah dari Wilbur Schramm dalam Men, Message and media (1973), “bagi masyarakat, pers adalah watcher, teacher and forum” sehingga pers diharapkan dapat membimbing publik agar memiliki wawasan yang benar mengenai aspek-aspek demokrasi dari pemilu.
Pers mahasiswa tentunya juga memunyai tanggung jawab yang cukup berat untuk turut berperan dalam proses pemantauan pemilu, tentunya tidak terlepas dari hakikat kedirian mahasiswa itu sendiri. Kedirian mahasiswa paling tidak diposisikan ke dalam tiga posisinya: sebagai intelektual (individu), warga negara (struktural) dan bagian masyarakat (kultural). Sebagai intelektual, mahasiswa berkecimpung dalam upaya perombakan daya pencerapan bangsanya dalam menghadapi persoalan-persoalannya. Sebagai warga negara mahasiswa seharusnya terlibat secara aktif dalam upaya perbaikan persoalan-persoalan kemaslahatan publik dalam kerangka konstitusional negara Republik Indonesia dan sebagai bagian dari masyarakat (yang membedakannya dengan kekuasaan) mahasiswa mengupayakan tawaran-tawaran alternatif kebudayaan yang semakin memperkuat proses budaya Keindonesiaan. Kampus selayaknya menjadi salah satu laboratorium sosial pengembangan progresif segala bentuk nilai dan teknik-teknik yang mengalami proses pengujian dan perumusan untuk kemudian ditawarkan kepada masyarakat sebagai suatu alternatif.
Pers mahasiswa dalam hal ini aktivis pewarta mahasiswa sebagai individu harus memainkan peran sebagai jurnalis intelektual. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, seorang pewarta mahasiswa melalui instrumen medianya dapat memberikan informasi alternatif kepada khalayak publik untuk mengampanyekan nilai-nilai keutamaan (civic virtue) dalam kerangka partisipasi dan penyelenggaraan pemilu yang sehat. Sebagai warga negara, pewarta mahasiswa memainkan peran mengkampanyekan penghormatan dan taat kepada hukum dari seluruh elemen masyarakat, sehingga penyelenggaraan pemilu berlangsung secara jujur, adil, aman dan tertib. Sebagai bagian dari masyarakat, pewarta mahasiswa dituntut untuk dapat mengupayakan kampanye pandangan alternatif yang tajam dan kritis mengenai kriteria pemimpin pengemban amanat rakyat dan platform partai politik.
Dalam sebuah diskusi publik yang diadakan oleh Jaringan Pewarta mahasiswa Independen (JaPMI) di Unpas Bandung, muncul keinginan dari para aktivis pewarta mahasiswa yang tergabung dalam JaPMI untuk terlibat aktif dalam proses pemilu kali ini dengan semangat memperkuat konsolidasi demokrasi. Keinginan ini mengkerucut ke dalam dua agenda: pertama mengkampanyekan pemilu sehat dan keterlibatan aktif warga negara dan kedua melalui kerjasama dengan semua pihak yang berada dalam semangat yang sama untuk turut melakukan pemantauan pemilu 2009.
Sangat disadari hal tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan, akan tetapi tidak ada alasan untuk tidak melakukan sesuatu dan hanya menjadi penonton dalam pelaksanaan pemilu 2009 yang akan menentukan Indonesia kedepan. Semoga segala niat baik dari kerendahan hati dan upaya-upaya sederhana ini dapat memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi terselenggaranya suatu pemilu yang sehat, jujur, adil dan demokratis sebagai bagian dari perjuangan keberlangsungan dan kematangan proses demokrasi kita dalam mewujudkan suatu tatanan berbangsa, bernegara yang adil dan sejahtera. Mari kita sukseskan pemilu 2009!

Dimuat di Majalah Mahasiswa Didaktika UNJ Jakarta Tahun 2009

Sedihnya Mutu Pendidikan Kita

0 komentar

“saya berharap biaya pendidikan di Indonesia murah, agar orang kecil juga bisa sekolah”
Begitulah jawaban Ujang ketika ditanya apa harapannya untuk pendidikan di Indonesia.

Sepenggal cerita di atas adalah sebagian potret anak bangsa, yang tidak bisa mengenyam pendidikan akibat mahalnya biaya pendidikan di negeri ini. Janji pemerintah yang setiap Senin mereka dengar di upacara bendera, ternyata belum terbukti.
Pemerintah memang telah memunyai gagasan yang bagus, bahwa masyarakat Indonesia harus bisa mengenyam pendidikan minimal 9 tahun (diproklamasikan tanggal 2 mei 1994), namun akan sulit untuk melaksanakan gagasan itu bila anggaran yang diberikan sangat terbatas, yaitu 9,1%.
Padahal ketentuan dari Undang-undang adalah 20% anggaran untuk peningkatan mutu pendidikan, jika dibandingkan dengan Malaysia yang memberikan anggaran untuk pendidikan sebesar 25%, sangat jauh pendidikan kita untuk mengimbangi Malaysia. Jika melihat pada tahun 1970-1980, kualitas pendidikan di negeri Jiran itu tidak jauh dengan Indonesia. Namun sejak tahun 1990 sampai dengan sekarang, pendidikan di Indonesia mengalami kemerosotan akibat krisis moneter yang berkepanjangan, belum lagi masa kepemimpinan SBY-Jk yang banyak mendapatkan ujian, seperti bencana alam dan kerusuhan dimana-mana.
Lambannya pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-undang telah memancing amarah dari para aktifis pendidikan, statement yang dilontarkan para demonstran terus terdengar agar pemerintah terus menambah anggaran pendidikan sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan hal tersebut mengakibatkan masyarakat miskin di Indonesia sampai tahun 2006 yang mencapai 19 juta orang tidak dapat mengenyam pendidikan karena mahalnya biaya pendidikan.

Mahalnya biaya Pendidikan
Pendidikan adalah kebutuhan manusia untuk mencapai segala cita-citanya. Fenomena pendidikan di negeri ini memang sangat kompleks, banyak yang berpendapat pendidikan di Indonesia sudah dijadikan lahan bisnis, hingga menyebabkan sebagian masyarakat tidak bisa mengenyam pendidikan, Aris misalnya, pemuda yang biasa di sapa Ujang ini hanya dapat mengenyam pendidikan sampai bangku SMP, pemuda asal Ciamis Jawa Barat ini harus menangguhkan cita-citanya “saya ingin melanjutkan sekolah, tapi bagaimana lagi, biaya sekolah sangat mahal” tuturnya. Ujang mengaku harus membayar Rp. 50.000 setiap bulannya, sedangkan penghasilan ayahnya yang hanya mengharapkan dari keuntungan dagang jauh dari cukup, ujang kini hanya menunggu nasib, untuk mengisi waktu luangnya dia memutuskan untuk hijrah ke Bandung, membantu ayahnya berdagang, “Saya berharap biaya penddikan di Indonesia murah, agar orang kecil juga bisa bersekolah” tuturnya lirih.
Bukan hanya Ujang yang tidak mampu melanjutkan sekolah di negeri ini, banyak juga Ujang-ujang lain yang harus meratapi nasib karena tidak adanya ijazah untuk menlangsungkan hidupnya dimasa mendatang. Syarif Hidayat dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat mengungkapkan kalau mahalnya biaya pendidikan disebabkan karena kurangnya anggaran untuk sarana pendidikan, “negara kita kan punya banyak hutang, mungkin itulah sebabnya kenapa negara tidak memberikan anggaran yang sesuai” ungkapnya.
Biaya pendidikan yang murah bahkan gratis tentu menjadi impian bagi masyarakat, namun impian itu belum bisa terlaksana, karena biaya pendidikan tetap saja mahal. Iwan Rusmana selaku Sekretaris Jendral Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengatakan kalau pemerintah Indonesia kurang menyepakati dengan adanya program sekolah gratis “Bahkan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jabar tidak menyetujui adanya sekolah gratis” katanya.

Era Global menghantui pendidikan Indonesia

Akhir-akhir ini, Indonesia dan negara tetangga sedang mengalami masa kegelisahan menanti gerbang globalisasi yang semakin terbuka lebar, dimana dalam era globalisasi ini semua negara dituntut untuk bersaing secara bebas dalam berbagai aspek, termasuk pendidikan.
Perdagangan bebas tidak bisa dielakan lagi, setuju atau tidak setuju namun negara kita sudah turut menyepakatinya. Itu terbukti dengan adanya kesepakatan AFTA, APEC, NAFTA dan WTO. Persaingan bebas terjadi juga di dunia pendidikan, Sekarang Indonesia sedang terlibat dalam isu RUU BHP yang bernuansa liberalisasi, maka dari itu pendidikan di Indonesia harus memunyai standar dengan pendidikan Internasional dan itu harus di tunjang dengan mutu pendidikan yang baik, karena dengan tidak bermutunya pendidikan maka rakyat Indonesia hanya akan menjadi penonton di era yang bebas itu.
Menurut Caprianus Aoer selaku anggota komisi 10 DPR RI, arus globalisasi yang dikaitkan dengan kemajuan IPTEK dan dampaknya yang belum diantisipasi akibat mutu pendidikan yang belum menggembirakan, maka itu akan mengakibatkan bertambahnya barisan panjang pengangguran di Indonesia. Sampai saat ini ada 54 juta orang menganggur
Caprianus menamahkan kalau sistem pendidikan di Indonesia belum mampu untuk memberikan landasan lepada anak didiknya untuk mengembangkan berbagai kemampuan dalam menyelesaikan masalah-masalahnya. Itu dilihat dari minimnya jumlah adak didik yang kreatif dan kritis,”sistem kurikulum berbasis kompetensi harus dikembangkan, akan tetapi para guru sibuk mempersiapkan bahan ajar yang masih minimal” katanya.
Pemerintah seharusnya berperan lebih ekstra dalam pengembangan mutu pendidikan, karena masyarakat sudah tidak bisa mengelak lagi akan datangnya era globalisasi, dimana ada persaingan yang yang semakin ketat dan kalau kita masih berleha-leha, kemungkinan masyarakat akan semakin terpuruk, “pemerintahlah yang memunyai tanggung jawab penuh dalam hal pendidikan, kan itu sudah janji mereka” tambahnya.

Dimuat di Tabloid Mahasiswa JUMPA
Edisi 31 Tahun 2006

Ada Keramahan di balik Gerbong Kereta Ekonomi

1 komentar

Kepulan asap hitam itu terlihat dari gerbong paling belakang kereta, berterbangan untuk membentuk sebuah awan, jam sudah menunjukan pukul 5.20 pagi, ternyata kereta Kahuripan jurusan Bandung – Kediri akan segera sampai di kota Yogyakarta. Udara pagi ini begitu cerah, tak terasa aku sudah berada dalam kereta dari sejak jam 20.15.

Malam itu aku memutuskan untuk berangkat ke kota Gudeg, dengan hanya mengeluarkan kocek Rp.24.000, aku mendapatkan tiket kereta ekonomi tanpa tempat duduk, ketika kereta datang dari arah awal pemberangkatannya, yaitu stasiun Padalarang, para penumpang berebutan untuk masuk kereta, aku mendapatkan tempat di gerbong 6, gerbong paling belakang. Ketika naik, aku melihat seorang pemuda yang sibuk memasukan barang bawaannya yang cukup banyak, dia membawa bahan kain sebanyak 6 karung berukuran besar untuk diantarkan ke kota jogja, aku pun membantu pemuda itu. Entah mengapa, ketika selesai mengangkut barang –barangnya, pemuda itu menawarkan tiketnya padaku,

“Mas gak dapat tempat duduk?” tanyanya padaku.

“Iya ni mas, paling juga duduk di sini” Jawabku.

Bagi para penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk, mereka harus berdesakan duduk diantara toilet dan pintu masuk kereta, dengan hanya beralaskan Koran saja, tidak bisa tidur karena kebisingan roda kereta ditambah kebisingan para pedagang yang tidak ada hentinya menawarkan jajanannya.

“Mending kita tukeran tiket saja, aku dapat tempat duduk, tapi gak akan pake” tawarnya.

“Lho, kenapa?” aku pun kembali bertanya padanya.

“Aku harus menjaga barang – barang ini mas, takut ada apa – apa”

“Gak apa- apa ni mas ?”tanyaku.

“Gak apa – apa, silahkan saja, sayang daripada gak kepake” dia pun sedikit memaksa.

Segera saja kami saling bertukaran tiket, dan aku langsung bergegas menuju nomor tempat duduk yang tertera dalam tiket itu, “24 A, gerbong 6”.

“Terimakasih banyak mas” kataku

“sama – sama” jawabnya.

Setelah menemukan nomor tempat duduk, aku langsung duduk, di sebelah ku duduk seorang pria yang cukup berumur, dia berasal dari Kediri, dan hendak pulang kesana. Di depan ku ada seorang lelaki dan perempuan yang baru mengikuti tes masuk ke salah satu Pergruan Tinggi di Bandung, kami hanya sebentar berbincang, lalu sama – sama beranjak tidur.

Sebenarya tidur dalam kereta ekonomi jauh dari kata nyaman, selain bising oleh deru mesin kereta, juga para pedagang yang mondar-mandir menawarkan dagangannya. Namun aku harus tidur, karena besok pagi aku harus langsung bergegas untuk mengikuti sebuah acara. Aku terbangun ketika kereta sudah sampai di Stasiun Tasikmalaya, kereta harus berhenti cukup lama, karena menunggu kereta eksekutif lewat. Memang, kereta ekonomi harus mengalah untuk kereta kelas eksekutif.

Kuong……bunyi itu pertanda kereta akan kembali berangkat, terlihat seorang ibu mondar-mandir mencari tempat duduk, namun naas, ternyata dia tidak mendapatkan tempat duduk itu,dia berdiri tepat di sampingku.

“mau kemana bu” aku mulai bertanya.

“Solo” jawab ibu itu dengan ramah.

Ini yang aku suka dengan kereta ekonomi, meski pun tidak nyaman, namun selalu ada keramahan di wajah para penumpangnya, walau pun tetap saja kita harus berhati-hati, karena tidak sedikit orang jahil yang ikut dalam perjalanan.

“Silahkan duduk saja di tempat saya Bu” tawar ku.

“Emang mas mau kemana” ibu itu bertanya.

“Saya mau ke Jogja, tapi silahkan duduk saja di tempat ku, kasihan ibu harus berdiri sampai Solo” kataku.

Setiap aku naik kendaraan umum kelas ekonomi, aku suka tidak sampai hati harus melihat ibu-ibu berdiri berdesakan, selalu saja aku ingat, bagaimana kalau ibu aku yang mengalami hal seperti itu.

“Benar nih mas gak apa-apa?” Tanya ibu itu.

“silahkan saja” jawab ku.

“Tapi nanti masnya bagaimana?”

“gak apa-apa, biar aku di belakang saja, lagian aku sudah tidur sejak kereta berangkat”

Akhirnya ibu itu menerima tawaran ku, aku pun beranjak ke belakang bergabung dengan para penumpang yang sama nasibnya ‘dapet tiket tanpa tempat duduk’.

Aku terkadang heran dengan pengelolaan manajemen kereta api, kalau misalnya tempat duduk terbatas, kenapa masih saja tiket di jual dan penumpang pun yang jadi korban. Bayangkan, mereka harus berdesakan di ruang brukuran 1 kali setengah meter, dengan disuguhkan bau pesing karena tepat di pojok kanan ruangan itu terdapat toilet untuk satu gerbong penumpang, kalau hujan turun, gerbong pun banjir, dan para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk, harus tahan berjongkok atau berdiri selama berjam-jam.

Dalam ruangan itu kami saling berbagi, ada salah satu penumpang asal Bandung, menawarkan rokok buatannya, katanya rokok itu perpaduan antara tembakau dan teh, direndam dulu dalam air lalu di jemur selama satu hari dan hasilnya rokok itu akan terasa enteng dan kadar nikotinnya tidak terlalu tinggi. Aku tidak tahu apakah resep dari dia itu ilmiah atau tidak, namun aku tetap mencoba rokok itu dan memang rasanya terasa enteng, wanginya pun berbeda, ada aroma teh yang cukup kental. Kami pun berbagi cerita, dari mulai tempat tujuan, sampai ada seseornag menceritakan tentang perjalanan hidupnya.

Sungguh, ini yang aku suka dalam gerbong kereta ekonomi, ada keakraban, selalu ada gelak tawa di tengah keterbatasan. Setelah sampai di tempat tujuan, aku pamitan dengan mereka.

“Jangan lupa berkunjung ke tempat aku berdagang bakso” teriak seorang bapak padaku.

Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, terpampang tulisan dalam papan di atas pintu masuk-keluar setasiun, sudah lebih dari satu tahun aku tidak menginjakan kaki di stasiun ini.

Aku tidak akan kapok naik kereta ekonomi dan lupa dengan pengalaman ini. Keramahan mereka akan terpatri dalam benak ku, aku merasa inilah cermin kondisi masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.

Kabar dari seorang kawan

0 komentar

Telpon itu berdering, setelah diangkat ternyata dari salah seorang teman yang sudah lama tidak bertemu, “gua udah di depan nih” katanya. Langsung saja aku bergegas menuju gerbang rumah, dan dia sedang sibuk meng otak-atik pintu gerbang yang memang rada sulit untuk di buka. Wajahnya terlihat murung, ekspresi mukanya sungguh tidak biasa, keceriaan yang biasanya terlihat seakan-akan sudah hilang. Berkali-kali dia berusaha menggenjot pedal motor, namun tidak kunjung nyala, langsung saja aku membantu dia, “ah sialan, ngedadak susah gini, dasar motor pinjaman” dia menggerutu. Akhirnya motor itu di dorong agar bias masuk ke garasi. sungguh aneh, dia terlihat canggung, kaku dan membuat suasana jadi kurang nyaman.

“giamana kabar mu,” tanyaku. Dia sebentar terdiam, mencoba untuk menghela nafas, aku sungguh tak mengerti, apakah dia tersinggung dengan pesan yang ku kirimkan padanya tadi sore. “aku sekarang kerja, ibuku sakit dan aku harus membiayai kebutuhanku sendiri,” keluhnya. Kontan saja perasaan ku jadi bergejolak, antara penyesalan dan kekesalan. Tadinya aku ingin meluapkan segala kekesalan ku padanya, karena dia memang tidak memberi kabar sedikit pun, padahal kita sudah sepakat kalau acara itu harus terlaksana dalam bulan ini, tapi apa mau dikata, ternyata rasa iba itu telah menghilangkan rasa amarah yang terpendam beberapa minggu ini. “aku minta maaf kalau selama ini sudah cukup membuat kau dan kawan-kawan bingung, rasanya canggung untuk menceritakan semua ini,” dia kembali berbicara. Sungguh, beberapa tahun ini aku selalu menemukan hal yang serupa, tahun kemarin kawan ku pun sama dengan dia, ekonomi yang menjadi persoalan. Semoga kau diberi jalan keluar kawan.

Bandung, 16 April 2009.

Tradisi Ngagembel pelajar Daerah

2 komentar

Sabtu siang itu terik matahari sangat menyengat, aku ingin segera sampai di rumah. Menyusuri perjalanan Bandung – Cianjur kita akan disuguhkan dengan debu yang sangat tebal, jika sampai di tempat tujuan terkadang mata terkena iritasi.

Ketika ban sepeda motor ku sudah bergelinding di atas jalan Padalarang Bandung Barat, terlihat kepulan asap tebal yang keluar dari perapian pabrik kapur, di tengah perjalanan terlihat puluhan pelajar Sekolah menengah pertama menyetop tronton besar yang tepat berada di depan motor ku, kontan saja rem ku injak. Terlihat wajah yang masih polos itu kegirangan karena tronton yang mereka stop mau memberikan tumpangan, sepertinya mereka kegirangan karena baru menyelesaikan Ujian Akhir Nasional, meskipun hasilnya belum tentu bagus, kebanyakan pelajar daerah melakukan tradisi ngagembel untuk mengakhiri ketegangan dimasa Ujian atau pun ulangan semester.

Aku jadi teringat masa SMP dulu, pernah aku melakukan hal yang sama dengan mereka, ngagembel. Sangat menantang walau pun maut menjadi ancamannya. Tapi begitulah potret para pelajar yang ada di daerah, hal tersebut merupakan bentuk luapan ekspresi mereka.

Tiga tempat dalam semalam Di Jogja

0 komentar

Malam itu kamis 4 Juni 2009, udara di Yogyakarta tetap saja panas. Jalan di kota ini dihiasi dengan Lampu kota, terlihat ada beberapa pedagang lesehan yang menjajakan makanan dan para wisatawan yang sekedar berjalan-jalan.

Aku dan kedua teman ku yang datang dari Bandung di antar oleh kawan lama yang sedang menyelesaikan studinya di salah satu Universitas di Yogya, dengan kendaraan sepeda motor pinjaman, kami menghabiskan waktu malam di kota gudeg ini.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Tugu, Tugu yang kini hampir berusia 3 abad itu merupakan landmark kota Yogyakarta. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Yogya memang sangat terkenal, sampai ada istilah kalau tidak berfoto di kawasan tugu, maka belum bisa disebut sudah ke Yogya. Terlihat orang-orang berfoto disana. Jika malam sudah larut, banyak wisatawan yang menghabiskan waktunya untuk sekedar berfoto di kawasan itu, aku dan kawan ku berdiri menatap keanggunan tugu itu yang menjadi berwarna kuning keemasan oleh pantulan cahaya lampu kota.

Setelah mengambil foto di Tugu, kami melanjutkan tempat tujuan yang kedua, yaitu angkringan di sekitaran Stasiun Tugu, mereka menjajakan dagangannya seperti nasi kucing yang harganya benar-benar murah, dan satu lagi yang unik yang menjadi ciri khas di angkringan ini, 'kopi jos'.Kopi yang dipanaskan dengan arang ini membuat para pengunjung penasaran, saking bikin penasarannya, sampai-sampai salah satu kawan ku menjilat arang yang dicelupkan ke kopi tersebut, “tapi kok rasanya pahit,” kata teman ku. Kontan saja kami tertawa.

Hampir 2 jam kami mengobrol di angkringan Stasiun Tugu, sambil menyeruput kopi jos yang rasanya benar-benar khas, terasa bau arang yang sangat kental bercampur dengan aroma kopi. Sesekali kami bersenda gurau sambil bercerita tentang pengalaman masing-masing. Setelah kopi habis, kami pun bergegas ke tempat tujuan terakhir kami, yaitu kawasan Keraton dan alun-alun kidul. Kami menuju ke alun-alun kidul terlebih dahulu, di tengah lahan yang luas itu, ada dua pohon beringin besar yang membentuk seperti gawang sepak bola, konon yang bisa melewati antara dua pohon itu doanya akan terkabul. Sangat berbau aroma mistis yang sangat kental, dan memang ini yang menjadi daya tarik kawasan alun-alun kidul Yogyakarta.

Setelah dari alun-alun kidul,kami menju Keraton, baru kali Keraton bisa terlihat lebih dekat, kami berdiri persis di gerbang keraton, sayang batrre kamera habis, jadi kami tidak bisa mengabadikan gambar kerataon. Jam sudah menunjukan pukul 4 pagi, kami harus bergegas pulang untuk beristirahat.

Jembatan Pasir Sireum Cianjur Belum juga diperbaiki

0 komentar


Minggu 10 Mei 2009 itu Matahari terasa di atas kepala, udara begitu panas. Terlihat para ibu sedang mencuci baju dan anak kecil yang sedang mandi di sungai Cikondang, Kampung Pasir Sireum Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur.

Sesekali terlihat warga Pasir Sireum harus bergantian untuk melewati sungai Cikondang itu dengan melewati Jembatan yang biasa di sebut jembatan rawayan. Jembatan itu adalah sarana vital yang menghubungkan Desa Pasir Sireum dan kecamatan Cibeber. Bukan tanpa sebab kenapa mereka harus bergantian, selain lebar jembatan yang sempit, jembatan yang panjangnya sekitar 500 meter itu ambruk di hantam bencana banjir Nopember tahun lalu.

Sampai sekarang, belum terlihat jembatan tersebut akan diperbaiki, sehingga para warga pun harus bergantian dan harus sangat berhati-hati untuk melewati jembatan tersebut, karena kondisinya yang sudah cukup parah.

Pagi hari di Situ Ciburuy

1 komentar


Pagi itu aku bergegas pulang menuju kota asal ku Cianjur, Kunyalakan sepeda motor dan langsung menancap gas. Sesampai di pasar Padalarang, gerimis turun, aku segera mencari tempat berteduh, ternyata di dekat daerah pasar tersebut ada tempat pengisian bahan bakar, segera saja stank motor kubelokan ke kiri menuju tempat itu. Setelah selesai mengisi bahan bakar dan diam agak lama, gerimis belum juga reda, aku memutuskan untuk kembali menancap gas, tidak jauh dari pom bensin itu di sebelah kanan pinggir jalan raya, ada sebuah Situ. Aku penasaran dengan suasana Situ itu dikala pagi hari, kembali ku memutuskan untuk berhenti. Sangat indah, meskipun tidak ada mentari pagi yang menyinari.

Kumatikan mesin sepada motorku di pinggiran dermaga Situ, terlihat beberapa perahu dan sepeda air yang biasa di sewa para pengunjung terparkir di dermaga. Meski pun gerimis mengguyur Situ, terlihat dua orang pemuda yang sedang menjaring ikan, Ade dan Firman nama kedua pemuda itu, Ade yang berasal dari Solo sudah sangat fasih berbahasa sunda, Ade dan Firman sama – sama bekerja di Perusahaan Pensil di daerah Padalarang, ikan tangkapannya cukup banyak. Dalam cerita rakyat, menangkap ikan dengan cara memancing di Situ ini terkenal susah, “menangkap ikan di Situ ini memang susah kalau dengan cara dipancing, makanya kami paksa dengan menggunakan jaring” tutur Firman.

Kupandangi Situ ini, cukup luas dan indah, di tengah Situ ada sebuah pulau kecil yang benama Bobojong, pulau itu di sewa oleh pemilik salah satu restoran yang cukup terkenal. Setelah hampir setengah jam berada di Situ, gerimis mulai reda, para pedagang mulai membuka warungnya, mereka bersiap untuk menjajakan dagangannya pada para pengunjung Situ. Terlihat seorang wanita tua keluar dari bilik tempat dagangannya yang sekaligus juga tempat dia melepas lelah jika hari sudah malam. Wanita itu sangat ramah, ketika aku menuju bilik dagangannya, aku langsung di suguhkan singkong rebus gratis, “ini mah gratis, tidak usah bayar” tuturnya sambil tersenyum. Wanita itu bernama mak Enok, dia bersama suaminya sudah lama berdagang disini, “emak sama si abah mah dari kecil sudah disini” katanya.

Dia bercerita cukup banyak, bercerita tentang Situ ini dan segala perubahannya, “sekarang mah sepi, jarang pengunjung yang datang kesini” keluhnya. Menurut dia, Situ ini sangat berbeda dengan keadaan 15 tahun lalu, dimana Situ ini masih sangat indah, belum ada sampah yang berserakan di pinggiran Situ dan setiap harinya Situ banyak dikunjungi. Keindahan Situ ini memang agak berkurang jika melihat seberang Situ dari dermaga, banyak sampah yang berserakan, “penduduk sini sering membuang sampah ke Situ” katanya. Menurutnya, air Situ ini dulunya sangat bening, saking beningnya, ikan – ikan sampai bisa terlihat jelas, “pokoknya lebih indah dari sekarang” katanya.

Emak Enok mengaku untuk sekarang pendapatannya hanya bisa menutup biaya makan dia dengan suaminya saja, berbeda ketika Situ ini banyak di kunjungi, acara – acara pun sering di gelar di Situ ini, seperti perpisahan sekolah misalnya, “sekarang mah sangat sepi sekali, tidak ada pendapatan tambahan” kata mak Enok.

Tidak terasa, sudah hampir 3 jam aku berada di sana, aku pun harus segera melanjutkan perjalanan. Aku berharap warga dan pemerintah dapat menjaga kawasan wisata yang terkenal dengan lagunya “Situ Ciburuy lautna hese dipancing, nyeredet hate ningali sorot caina” (Situ Ciburuy, lautnya susah di pancing, hati bergetar melihat kejernihan airnya).