Rabu, 01 Juli 2009

Ada Keramahan di balik Gerbong Kereta Ekonomi

Kepulan asap hitam itu terlihat dari gerbong paling belakang kereta, berterbangan untuk membentuk sebuah awan, jam sudah menunjukan pukul 5.20 pagi, ternyata kereta Kahuripan jurusan Bandung – Kediri akan segera sampai di kota Yogyakarta. Udara pagi ini begitu cerah, tak terasa aku sudah berada dalam kereta dari sejak jam 20.15.

Malam itu aku memutuskan untuk berangkat ke kota Gudeg, dengan hanya mengeluarkan kocek Rp.24.000, aku mendapatkan tiket kereta ekonomi tanpa tempat duduk, ketika kereta datang dari arah awal pemberangkatannya, yaitu stasiun Padalarang, para penumpang berebutan untuk masuk kereta, aku mendapatkan tempat di gerbong 6, gerbong paling belakang. Ketika naik, aku melihat seorang pemuda yang sibuk memasukan barang bawaannya yang cukup banyak, dia membawa bahan kain sebanyak 6 karung berukuran besar untuk diantarkan ke kota jogja, aku pun membantu pemuda itu. Entah mengapa, ketika selesai mengangkut barang –barangnya, pemuda itu menawarkan tiketnya padaku,

“Mas gak dapat tempat duduk?” tanyanya padaku.

“Iya ni mas, paling juga duduk di sini” Jawabku.

Bagi para penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk, mereka harus berdesakan duduk diantara toilet dan pintu masuk kereta, dengan hanya beralaskan Koran saja, tidak bisa tidur karena kebisingan roda kereta ditambah kebisingan para pedagang yang tidak ada hentinya menawarkan jajanannya.

“Mending kita tukeran tiket saja, aku dapat tempat duduk, tapi gak akan pake” tawarnya.

“Lho, kenapa?” aku pun kembali bertanya padanya.

“Aku harus menjaga barang – barang ini mas, takut ada apa – apa”

“Gak apa- apa ni mas ?”tanyaku.

“Gak apa – apa, silahkan saja, sayang daripada gak kepake” dia pun sedikit memaksa.

Segera saja kami saling bertukaran tiket, dan aku langsung bergegas menuju nomor tempat duduk yang tertera dalam tiket itu, “24 A, gerbong 6”.

“Terimakasih banyak mas” kataku

“sama – sama” jawabnya.

Setelah menemukan nomor tempat duduk, aku langsung duduk, di sebelah ku duduk seorang pria yang cukup berumur, dia berasal dari Kediri, dan hendak pulang kesana. Di depan ku ada seorang lelaki dan perempuan yang baru mengikuti tes masuk ke salah satu Pergruan Tinggi di Bandung, kami hanya sebentar berbincang, lalu sama – sama beranjak tidur.

Sebenarya tidur dalam kereta ekonomi jauh dari kata nyaman, selain bising oleh deru mesin kereta, juga para pedagang yang mondar-mandir menawarkan dagangannya. Namun aku harus tidur, karena besok pagi aku harus langsung bergegas untuk mengikuti sebuah acara. Aku terbangun ketika kereta sudah sampai di Stasiun Tasikmalaya, kereta harus berhenti cukup lama, karena menunggu kereta eksekutif lewat. Memang, kereta ekonomi harus mengalah untuk kereta kelas eksekutif.

Kuong……bunyi itu pertanda kereta akan kembali berangkat, terlihat seorang ibu mondar-mandir mencari tempat duduk, namun naas, ternyata dia tidak mendapatkan tempat duduk itu,dia berdiri tepat di sampingku.

“mau kemana bu” aku mulai bertanya.

“Solo” jawab ibu itu dengan ramah.

Ini yang aku suka dengan kereta ekonomi, meski pun tidak nyaman, namun selalu ada keramahan di wajah para penumpangnya, walau pun tetap saja kita harus berhati-hati, karena tidak sedikit orang jahil yang ikut dalam perjalanan.

“Silahkan duduk saja di tempat saya Bu” tawar ku.

“Emang mas mau kemana” ibu itu bertanya.

“Saya mau ke Jogja, tapi silahkan duduk saja di tempat ku, kasihan ibu harus berdiri sampai Solo” kataku.

Setiap aku naik kendaraan umum kelas ekonomi, aku suka tidak sampai hati harus melihat ibu-ibu berdiri berdesakan, selalu saja aku ingat, bagaimana kalau ibu aku yang mengalami hal seperti itu.

“Benar nih mas gak apa-apa?” Tanya ibu itu.

“silahkan saja” jawab ku.

“Tapi nanti masnya bagaimana?”

“gak apa-apa, biar aku di belakang saja, lagian aku sudah tidur sejak kereta berangkat”

Akhirnya ibu itu menerima tawaran ku, aku pun beranjak ke belakang bergabung dengan para penumpang yang sama nasibnya ‘dapet tiket tanpa tempat duduk’.

Aku terkadang heran dengan pengelolaan manajemen kereta api, kalau misalnya tempat duduk terbatas, kenapa masih saja tiket di jual dan penumpang pun yang jadi korban. Bayangkan, mereka harus berdesakan di ruang brukuran 1 kali setengah meter, dengan disuguhkan bau pesing karena tepat di pojok kanan ruangan itu terdapat toilet untuk satu gerbong penumpang, kalau hujan turun, gerbong pun banjir, dan para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk, harus tahan berjongkok atau berdiri selama berjam-jam.

Dalam ruangan itu kami saling berbagi, ada salah satu penumpang asal Bandung, menawarkan rokok buatannya, katanya rokok itu perpaduan antara tembakau dan teh, direndam dulu dalam air lalu di jemur selama satu hari dan hasilnya rokok itu akan terasa enteng dan kadar nikotinnya tidak terlalu tinggi. Aku tidak tahu apakah resep dari dia itu ilmiah atau tidak, namun aku tetap mencoba rokok itu dan memang rasanya terasa enteng, wanginya pun berbeda, ada aroma teh yang cukup kental. Kami pun berbagi cerita, dari mulai tempat tujuan, sampai ada seseornag menceritakan tentang perjalanan hidupnya.

Sungguh, ini yang aku suka dalam gerbong kereta ekonomi, ada keakraban, selalu ada gelak tawa di tengah keterbatasan. Setelah sampai di tempat tujuan, aku pamitan dengan mereka.

“Jangan lupa berkunjung ke tempat aku berdagang bakso” teriak seorang bapak padaku.

Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, terpampang tulisan dalam papan di atas pintu masuk-keluar setasiun, sudah lebih dari satu tahun aku tidak menginjakan kaki di stasiun ini.

Aku tidak akan kapok naik kereta ekonomi dan lupa dengan pengalaman ini. Keramahan mereka akan terpatri dalam benak ku, aku merasa inilah cermin kondisi masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Jujur,, memang kadang keramahan yang terjadi diatas merupakan barang langka saat ini..
terlebih makin maraknya titik-titik panas (Hotspot) yang dikomersialisasikan sehingga tidak mudah untuk diakses untuk orang-orang menengah ke bawah seperti saya....
memang favorit saya masih di StarSucks Cafe.. cuma saya sepanjang pengamatan saya, disana tidak ada keramahan natural seperti yang terjadi pada keramahan di atas kereta api, seperti yang empunya blog rasakan...
Miris buat saya, merasakan peluh anak2 kecil, dan ibu2 tua berjejalan dalam kereta api ekonomi tersebut,,,
tapi apa mau dikata.... orang miskin dilarang komentar...hehe
Andri Brown

Posting Komentar