Rabu, 01 Juli 2009

Sedihnya Mutu Pendidikan Kita

“saya berharap biaya pendidikan di Indonesia murah, agar orang kecil juga bisa sekolah”
Begitulah jawaban Ujang ketika ditanya apa harapannya untuk pendidikan di Indonesia.

Sepenggal cerita di atas adalah sebagian potret anak bangsa, yang tidak bisa mengenyam pendidikan akibat mahalnya biaya pendidikan di negeri ini. Janji pemerintah yang setiap Senin mereka dengar di upacara bendera, ternyata belum terbukti.
Pemerintah memang telah memunyai gagasan yang bagus, bahwa masyarakat Indonesia harus bisa mengenyam pendidikan minimal 9 tahun (diproklamasikan tanggal 2 mei 1994), namun akan sulit untuk melaksanakan gagasan itu bila anggaran yang diberikan sangat terbatas, yaitu 9,1%.
Padahal ketentuan dari Undang-undang adalah 20% anggaran untuk peningkatan mutu pendidikan, jika dibandingkan dengan Malaysia yang memberikan anggaran untuk pendidikan sebesar 25%, sangat jauh pendidikan kita untuk mengimbangi Malaysia. Jika melihat pada tahun 1970-1980, kualitas pendidikan di negeri Jiran itu tidak jauh dengan Indonesia. Namun sejak tahun 1990 sampai dengan sekarang, pendidikan di Indonesia mengalami kemerosotan akibat krisis moneter yang berkepanjangan, belum lagi masa kepemimpinan SBY-Jk yang banyak mendapatkan ujian, seperti bencana alam dan kerusuhan dimana-mana.
Lambannya pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-undang telah memancing amarah dari para aktifis pendidikan, statement yang dilontarkan para demonstran terus terdengar agar pemerintah terus menambah anggaran pendidikan sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan hal tersebut mengakibatkan masyarakat miskin di Indonesia sampai tahun 2006 yang mencapai 19 juta orang tidak dapat mengenyam pendidikan karena mahalnya biaya pendidikan.

Mahalnya biaya Pendidikan
Pendidikan adalah kebutuhan manusia untuk mencapai segala cita-citanya. Fenomena pendidikan di negeri ini memang sangat kompleks, banyak yang berpendapat pendidikan di Indonesia sudah dijadikan lahan bisnis, hingga menyebabkan sebagian masyarakat tidak bisa mengenyam pendidikan, Aris misalnya, pemuda yang biasa di sapa Ujang ini hanya dapat mengenyam pendidikan sampai bangku SMP, pemuda asal Ciamis Jawa Barat ini harus menangguhkan cita-citanya “saya ingin melanjutkan sekolah, tapi bagaimana lagi, biaya sekolah sangat mahal” tuturnya. Ujang mengaku harus membayar Rp. 50.000 setiap bulannya, sedangkan penghasilan ayahnya yang hanya mengharapkan dari keuntungan dagang jauh dari cukup, ujang kini hanya menunggu nasib, untuk mengisi waktu luangnya dia memutuskan untuk hijrah ke Bandung, membantu ayahnya berdagang, “Saya berharap biaya penddikan di Indonesia murah, agar orang kecil juga bisa bersekolah” tuturnya lirih.
Bukan hanya Ujang yang tidak mampu melanjutkan sekolah di negeri ini, banyak juga Ujang-ujang lain yang harus meratapi nasib karena tidak adanya ijazah untuk menlangsungkan hidupnya dimasa mendatang. Syarif Hidayat dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat mengungkapkan kalau mahalnya biaya pendidikan disebabkan karena kurangnya anggaran untuk sarana pendidikan, “negara kita kan punya banyak hutang, mungkin itulah sebabnya kenapa negara tidak memberikan anggaran yang sesuai” ungkapnya.
Biaya pendidikan yang murah bahkan gratis tentu menjadi impian bagi masyarakat, namun impian itu belum bisa terlaksana, karena biaya pendidikan tetap saja mahal. Iwan Rusmana selaku Sekretaris Jendral Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengatakan kalau pemerintah Indonesia kurang menyepakati dengan adanya program sekolah gratis “Bahkan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jabar tidak menyetujui adanya sekolah gratis” katanya.

Era Global menghantui pendidikan Indonesia

Akhir-akhir ini, Indonesia dan negara tetangga sedang mengalami masa kegelisahan menanti gerbang globalisasi yang semakin terbuka lebar, dimana dalam era globalisasi ini semua negara dituntut untuk bersaing secara bebas dalam berbagai aspek, termasuk pendidikan.
Perdagangan bebas tidak bisa dielakan lagi, setuju atau tidak setuju namun negara kita sudah turut menyepakatinya. Itu terbukti dengan adanya kesepakatan AFTA, APEC, NAFTA dan WTO. Persaingan bebas terjadi juga di dunia pendidikan, Sekarang Indonesia sedang terlibat dalam isu RUU BHP yang bernuansa liberalisasi, maka dari itu pendidikan di Indonesia harus memunyai standar dengan pendidikan Internasional dan itu harus di tunjang dengan mutu pendidikan yang baik, karena dengan tidak bermutunya pendidikan maka rakyat Indonesia hanya akan menjadi penonton di era yang bebas itu.
Menurut Caprianus Aoer selaku anggota komisi 10 DPR RI, arus globalisasi yang dikaitkan dengan kemajuan IPTEK dan dampaknya yang belum diantisipasi akibat mutu pendidikan yang belum menggembirakan, maka itu akan mengakibatkan bertambahnya barisan panjang pengangguran di Indonesia. Sampai saat ini ada 54 juta orang menganggur
Caprianus menamahkan kalau sistem pendidikan di Indonesia belum mampu untuk memberikan landasan lepada anak didiknya untuk mengembangkan berbagai kemampuan dalam menyelesaikan masalah-masalahnya. Itu dilihat dari minimnya jumlah adak didik yang kreatif dan kritis,”sistem kurikulum berbasis kompetensi harus dikembangkan, akan tetapi para guru sibuk mempersiapkan bahan ajar yang masih minimal” katanya.
Pemerintah seharusnya berperan lebih ekstra dalam pengembangan mutu pendidikan, karena masyarakat sudah tidak bisa mengelak lagi akan datangnya era globalisasi, dimana ada persaingan yang yang semakin ketat dan kalau kita masih berleha-leha, kemungkinan masyarakat akan semakin terpuruk, “pemerintahlah yang memunyai tanggung jawab penuh dalam hal pendidikan, kan itu sudah janji mereka” tambahnya.

Dimuat di Tabloid Mahasiswa JUMPA
Edisi 31 Tahun 2006

0 komentar:

Posting Komentar