Rabu, 15 Juli 2009

Aksi Mahasiswa, Isunya tidak Populis di Mata Masyarakat

Apakah gunanya pendidikan…bila hanya membuat seseorang menjadi asing…ditengah kenyataan persoalan…bila akhirnya…ketika ia pulang ke daerahnya…lalu berkata, “Di sini aku merasa asing dan sepi.”
(Dari seonggok jagung, W.S Rendra)

Kutipan puisi di atas merupakan gambaran dari fenomena yang terjadi pada mahasiswa sekarang, mahasiswa yang dikenal dengan sebutan agent of change karena prilakunya yang progresif revolusioner, mahasiswa yang dikenang telah mengisi banyak peran penting dalam keberlangsungan Negara dengan membawa berbagai perubahan, saat ini tidak lagi menjadi icon untuk sebuah perubahan, perjuangan bahkan menjadi gantungan harapan. Sekarang mahasiswa lebih disibukan dengan mengejar Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3 ‘koma’ dan lulus cepat. Bukanlah sebuah kekeliruan jika mahasiswa disibukkan dengan hal itu, hanya saja jelas menyimpang dari tujuan pendidikan tinggi itu sendiri, saat mahasiswa justru membangun tembok pemisah lalu mengasingkan diri dari masyarakat dan perkembangan bangsa dimana mahasiswa menjadi kebanggaan dan harapan.
Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat), mungkin tidak sedikit mahasiswa era sekarang yang tidak tahu makna dari Tri Dharma. Namun bagaimana pun juga, konsep Tri Dharma yang muncul dari tahun 1970 ini ternyata sangat berarti bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih miskin akan ilmu pengetahuan (pendidikan). Seperti yang ada di Tri Dharma ketiga (pengabdian pada masyarakat) yang sekarang banyak dilupakan oleh mahasiswa, padahal ilmu pengetahuan yang mahasiswa dapatkan selama di bangku kuliah dapat diaplikasikan dan bermanfaat bagi masyarakat, ketimbang diaplikasikan di tempat dugem atau menjadi koruptor bagi masyarakatnya sendiri. Karena , kalau mahasiswa belum mengabdi pada masyarakat, maka mahasiswa tersebut belum menjadi mahasiswa yang seutuhnya.
Mahasiswa dalah salah satu unsur masyarakat yang memunyai bargaining position bagi satu perubahan dalam negeri, karena status sebagai mahasiswa secara otomatis telah menempatkan individu pada suatu kualitas dimana ia dapat menjalankan fungsi kontrol tanpa batas. Tentu apabila mahasiswa tidak memposisikan dirinya sebagai penghuni bangku kuliah yang pasif, akan tetapi dalam kesehariannya selalu memfungsikan daya monitoring terhadap perkembangan yang ada, terutama pada pemerintah dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan. Perlu dipertegas, bahwa status ini menempatkan mahasiswa di posisi paling strategis di ranah percaturan politik bangsa, dan secara otomatis menjadi strategis di bidang lain.
Memang, segala hal memunyai konsekuensi tersendiri, karena kestrategisan inilah aktifis gerakan mahasiswa punya banyak peluang yang strategis pula di lapangan, istilah yang ‘memahasiswa’ adalah ‘proyek’ yang sekaligus memunculkan konflik antar bendera di tubuh gerakan mahasiswa itu sendiri, yang merupakan buah dari rasa saling curiga. Namun pantaskah dinamika ini menjadi alasan mahasiswa menjadi gerah dan malas untuk ikut berpikir soal bangsa dan masyarakatnya? Mungkin kaum muda Indonesia telah salah menafsirkan makna peace yang sering dikampanyekan ’entertaint keren’ pujaannya.
Gerakan mahasiswa ’98 merupakan fenomena unik, bagaimana tidak, setelah kurang dari 20 tahun intelektualitas mahasiswa dipasung oleh kebijakan Normalisasi Kegiatan kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), dimana kebebasan berpikir dan berekspresi yang menjadi ciri mahasiswa dibelenggu, diskursus-diskursus nasional tidak berhasil diangkat mahasiswa, dan semua kritik membeku seiring dengan semakin mengguritanya kebijakan-kebijakan dan pembangunan Orba yang semu. Namun dari kebekuan itu muncul teriakan keras dengan tangan kiri menjulang terkepal menuntut reformasi. Dukungan pada gerakan yang dilabeli gerakan moral intelektual itu terus mengalir, Indonesia terbenam lautan semangat perjuangan dengan satu tujuan, “Runtuhkan rezim Orba!”Soeharto pun terpaksa harus angkat kaki dari kursi yang telah di dudukinya selama 32 tahun dan nama mahasiswa lah yang disebut pahlawan, mahasiswa Berjaya. Lalu selesaikah tugas mahasiswa? Apakah perayaan kemenangan yang terlalu lama hingga membenamkan ide untuk melanjutkan sejarah yang sebenarnya baru saja dimulai? Atau kah kepercayaan penuh yang telah diberikan kepada adik-adik penerus untuk melanjutkan sawah yang baru saja selesai dibersihkan? Atau memang tidak pernah ada susunan agenda untuk melanjutkan sebuah cita-cita?
Paca lengsernya Soeharto dari kursi pemerintahan 1998, gerakan mahasiswa tetap ada sampai tahun 2002, namun masa berikutnya gerakan mahasiswa mulai kehilangan ‘taring’, itu bisa dilihat dari aksi-aksi mahasiswa yang tidak konsisten untuk terus memonitoring isu yang diangkat, hingga pemerintah pun bisa tenang tanpa harus mengelus dada jika ada aksi mahasiswa. Seperti yang dikemukakan Yudi selaku Ketua II Liga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND) pusat, yang melihat karena tidak berjalannya agenda reformasi sehingga mengakibatkan gerakan mahasiswa sekarang menjadi kehilangan arah, “gerakan mahasiswa sekarang seolah-olah tidak memunyai tujuan pasti, mereka mau kemana dan apa yang mereka inginkan,” tuturnya.
Selanjutnya wacana yang berekembang dikalangan mahasiswa yang masih intens dalam gerakan, khususnya yang kecewa akan keadaan dan pola pikir mahasiswa di era reformasi, bahwa hilangnya arah gerak mahasiswa saat ini karena imbas dari kurang matangnya konsep reformasi itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Andrian selaku Kabag Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bandung. menurut Andrian, penggulingan Orde Baru hanya terfokus pada pemimpinnya saja ‘Soeharto’, sementara sistem yang dibangun oleh rezim tersebut selama 32 tahun masih mengakar kuat, “itu tidak disadari oleh gerakan mahasiswa sekarang,” tuturnya.

Lamunan para demonstran
“Satu komando, satu perjuangan”
Itu yang sering kita dengar ketika mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan. Namun yel-yel pemicu semangat tersebut sepantasnya pula dikembalikan dalam bentuk pertanyaan, benarkah ada persatuan untuk sebuah perjuangan dari berbagai bendera yang diusung oleh gerakan mahasiswa? Atau dapat dipertanyakan ulang, apakah aksi turun ke jalan, mengutuk, mencaci, memblokir jalan, dan berbagai aksi yang mengatasnamakan rakyat dengan segala aksesoris tindakan yang meresahkan masyarakat pada umumnya itu layak disebut perjuangan?
Aksi demonstrasi memang salah satu cara mahasiswa untuk meneriakan aspirasinya ketika kaum intelektual ini merasa gelisah, namun terlepas dari berbagai kegelisahan mahasiswa era ‘3 G’ ini, sepantasnya kita bertanya apakah aksi demonstrasi adalah satu-satunya cara mahasiswa untuk mengungkapkan aspirasi rakyat.
Berbicara soal aspirasi, seorang aktifis era 1970-an, dr Hariman Siregar, punya pendapat sendiri menanggapi soal aksi mahasiswa yang sepi peminat ketimbang bobotoh persib. Menurut Hariman, permasalahan terletak pada isu yang diusung oleh aktifis gerakan sekarang yang kurang populis di mata masyarakat, “Gerakan mahasiswa akan menjadi besar jika isunya menyentuh semua orang,” katanya. Pernyataan seorang Hariman memang tidak berlebihan, sebuah gerakan akan menjadi besar jika memang isu yang diangkat adalah kepentingan dari semua pihak atau dengan kata lain isu tersebut memang layak untuk mengatasnamakan rakyat, bukan dari kelompok-kelompok tertentu yang memunyai kepentingan tersendiri, “makanya aksi itu nggak laku,” ketus Hariman.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, mahasiswa merupakan pelopor perubahan bangsa. Pada zaman Orde baru, pemerintah sangat takut jika mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Oleh karena itu pada 1978, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa larangan terhadap organisasi intra kampus (pada saat itu bernama Dewan Mahasiswa) terjun ke dalam politik praktis. NKK/BKK, kebijakan tersebut dilatarbelakangi ketika mahasiswa menolak kembali pencalonan Soeharto pasca Pemilu Tahun 1977.
Melihat fenomena yang terjadi pada gerakan mahasiswa sekarang, terlihat jelas aksi yang diusung mahasiswa sekarang tidak mampu medapat respon dari masyarakat, “Dulu antara mahasiswa dengan masyarakat sangat bersatu,” tutur Wimar Witoelar, aktifis di era 1966, “kalau kita demo, nginep dimana saja kita selalu dikasih nasi bungkus sama masyarakat,” tambahnya.
Kedekatan hubungan antara mahasiswa dengan masyarakat pada era itu, karena begitu besar pula harapan masyarakat terhadap mahasiswa untuk membawa perbaikan, “Waktu itu masyarakat menganggap mahasiswa akan membawa perbaikan,” kenangnya.
Namun, Ahdian dari Forum Kota (Forkot) merasa tetap yakin bahwa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa, apakah itu besar atau kecil akan tetap memunyai nilai arti bagi pemerintahan, “Pengkritisan terhadap pemerintahan itu harus dilakukan dengan aksi kecil maupun besar,” katanya. Namun tetap saja tidak dapat dipungkiri, bahwa tingkat kejenuhan masyarakat terhadap aksi gerakan mahasiswa sudah semakin meningkat, “masyarakat sudah menganggap aksi mahasiswa ini sudah tidak berarti,” tambahnya.
Menjadi sebuah keniscayaan memang bilamana gerakan mahasiswa tanpa didukung oleh rakyatnya sendiri, namun apakah gerakan harus berhenti? Tentu tidak, tapi dapatkah kita meredakan ego sedikit saja untuk berhenti sejenak dan memahami alur gerak yang mampu ‘menggerakkan’ gerakan itu sendiri, karena kita kadang menyangka dengan ego kita yang tinggi, bahwa semua lamunan tentang massa benar tanpa celah.

“putch” itu satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu biasanya membuat rancangannya menurut kemauan dan kecakapan sendiri dengan tidak memperdulikan perasaan dan kesanggupan massa, ia sekonyong-konyong keluar dari guanya dengan tidak memperhitungkan terlebih dulu, apakah saat itu bermassa-aksi sudah matang atau belum. Dia menyangka, bahwa semua lamunannya tentang massa benar sama sekali.
(dikutip: Tan Malaka, Aksi Massa. Hal 120)

Di muat di tabloid JUMPA
Edisi 32 Tahun 2007

0 komentar:

Posting Komentar