Rabu, 01 Juli 2009

Demokrasi, Pemilu dan Peran Pers Mahasiswa

Pemilu 2009 telah berlangsung sampai pada tahap pemilihian legislatif, pemilu memang bukan barang baru bagi rakyat Indonesia. Sudah 9 kali Bangsa ini melaksanakan pemilu, namun hanya pemilu 1955, 1999 dan 2004 Indonesia melaksanakan pemilu yang demokratis. Pemilu 2009 kali ini memiliki nilai tersendiri yang teramat menentukan masa depan demokrasi kita, dimana sejak reformasi 1998 hingga sekarang, masih banyak tuntutan perubahan dari masyarakat yang seperti berjalan di tempat.
Mungkin hal di atas dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis bagi negara-bangsa yang tengah berjuang memantapkan konsolidasi demokrasi setelah sekian lama berada di bawah rezim otoriter. Pemilu 2009 yang merupakan kali ketiga pemilu dilaksanakan pada era reformasi merupakan titik krusial demokrasi kita untuk menjawab pertanyaan, apakah proses demokratisasi kita dapat keluar dari perangkap anarki?
Mengapa anarki? Perkembangan-perkembangan terakhir menunjukan bahwa demokrasi lebih banyak diartikan dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya, suatu proses liberalisasi hampir disegala bidang. Kemunculan fenomena calon independen diterima sebagai tuntutan demokratis, tidak secara kritis dipahami sebagai fenomena liberalisasi ke arah kebebasan negatif. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan legislatif dengan mekanisme suara terbanyak (yang hakekatnya adalah salah satu prosedur dalam demokrasi) diesensikan sebagai kedaulatan rakyat. Keputusannya yang membuat persaingan kursi legislatif bukan lagi antar partai politik, akan tetapi menjadi persaingan tajam antar caleg baik dari parpol yang berbeda maupun yang sama. Desentralisasi yang awalnya kita sambut sebagai langkah strategis memperkuat demokrasi, kini malah dikhawatirkan akan menjadi faktor disintegrasi bangsa ketika dimaknai sekedar kebebasan untuk pemekaran daerah seluas-luasnya.
Merujuk pada kasus tuntutan pemekaran Tapanuli Utara yang berujung tewasnya ketua DPRD setempat dalam aksi unjuk rasa anarkis, kita khawatir para elit yang bermain, menyandarkan proses pemekaran daerah itu pada politik identitas etnik tertentu. Di sinilah bayangan gejala anarkisme muncul dan inilah yang membuat pemilu 2009 begitu menentukan dan besar artinya bagi masa depan demokrasi kita.
Kebebasan memang kebutuhan dasar bagi demokrasi namun kita harus ingat kebebasan yang ingin kita kembangkan di Republik Pancasila ini adalah kebebasan positif, yang mengedepankan kemaslahatan publik, bukan kebebasan negatif yang hanya memperbesar kebebasan individual semata. Demokrasi kita harus mengembangkan kebebasan positif dalam kerangka rasionalitas dan pluralitas.
Demokrasi memang tidak sesederhana yang orang bilang. Ia bukan terminologi gagah untuk sekedar diucapkan, namun merupakan sikap dan prilaku yang harus diterapkan, termasuk kerelaan untuk meninggalkan budaya kekerasan dalam menyelesaikan suatu persoalan.
Pemilu sebagai bagian penting dari proses demokrasi, harus menjadi perhatian utama kita semua warga negara yang bertanggungjawab. Melalui pemilu kita menolak jalan kekerasan sebagai pencapaian tujuan, jalan yang saat ini rasanya justru kian subur dalam praktik demokrasi kita. Mahasiswa terutamanya Pers Mahasiswa selayaknya hirau pada praktek penyaluran aspirasi yang sehat dan melibatkan dirinya dalam segala bentuk upaya mewujudkannya demi keberlangsungan demokrasi.

Peran Pers mahasiswa dalam Pemilu
Pers, yang sering digambarkan sebagai pilar ke empat dalam demokrasi tentunya juga memunyai tugas untuk turut aktif dalam menyehatkan pemilu. Pers yang ideal adalah pers yang bekerja untuk kehidupan masyarakat dan bernegara yang demokratis, fungsinya untuk menjaga terlestarikannya proses-proses politik yang demokratis dengan menjadikannya wahana bagi semua warga negara untuk di satu pihak memeroleh informasi yang terbuka tentang proses–proses politik, salah satunya pada pelaksanaan pemilu.
Salah satu bentuk bantuan pers dalam konteks ini adalah dengan memberikan informasi tentang pemilu dengan baik dan memantau bagaimana proses pemilu itu dapat berlangsung sesuai dengan prinsipnya, dengan sajian berita yang berimbang dan sesuai dengan fakta yang ada. Jika meminjam istilah dari Wilbur Schramm dalam Men, Message and media (1973), “bagi masyarakat, pers adalah watcher, teacher and forum” sehingga pers diharapkan dapat membimbing publik agar memiliki wawasan yang benar mengenai aspek-aspek demokrasi dari pemilu.
Pers mahasiswa tentunya juga memunyai tanggung jawab yang cukup berat untuk turut berperan dalam proses pemantauan pemilu, tentunya tidak terlepas dari hakikat kedirian mahasiswa itu sendiri. Kedirian mahasiswa paling tidak diposisikan ke dalam tiga posisinya: sebagai intelektual (individu), warga negara (struktural) dan bagian masyarakat (kultural). Sebagai intelektual, mahasiswa berkecimpung dalam upaya perombakan daya pencerapan bangsanya dalam menghadapi persoalan-persoalannya. Sebagai warga negara mahasiswa seharusnya terlibat secara aktif dalam upaya perbaikan persoalan-persoalan kemaslahatan publik dalam kerangka konstitusional negara Republik Indonesia dan sebagai bagian dari masyarakat (yang membedakannya dengan kekuasaan) mahasiswa mengupayakan tawaran-tawaran alternatif kebudayaan yang semakin memperkuat proses budaya Keindonesiaan. Kampus selayaknya menjadi salah satu laboratorium sosial pengembangan progresif segala bentuk nilai dan teknik-teknik yang mengalami proses pengujian dan perumusan untuk kemudian ditawarkan kepada masyarakat sebagai suatu alternatif.
Pers mahasiswa dalam hal ini aktivis pewarta mahasiswa sebagai individu harus memainkan peran sebagai jurnalis intelektual. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, seorang pewarta mahasiswa melalui instrumen medianya dapat memberikan informasi alternatif kepada khalayak publik untuk mengampanyekan nilai-nilai keutamaan (civic virtue) dalam kerangka partisipasi dan penyelenggaraan pemilu yang sehat. Sebagai warga negara, pewarta mahasiswa memainkan peran mengkampanyekan penghormatan dan taat kepada hukum dari seluruh elemen masyarakat, sehingga penyelenggaraan pemilu berlangsung secara jujur, adil, aman dan tertib. Sebagai bagian dari masyarakat, pewarta mahasiswa dituntut untuk dapat mengupayakan kampanye pandangan alternatif yang tajam dan kritis mengenai kriteria pemimpin pengemban amanat rakyat dan platform partai politik.
Dalam sebuah diskusi publik yang diadakan oleh Jaringan Pewarta mahasiswa Independen (JaPMI) di Unpas Bandung, muncul keinginan dari para aktivis pewarta mahasiswa yang tergabung dalam JaPMI untuk terlibat aktif dalam proses pemilu kali ini dengan semangat memperkuat konsolidasi demokrasi. Keinginan ini mengkerucut ke dalam dua agenda: pertama mengkampanyekan pemilu sehat dan keterlibatan aktif warga negara dan kedua melalui kerjasama dengan semua pihak yang berada dalam semangat yang sama untuk turut melakukan pemantauan pemilu 2009.
Sangat disadari hal tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan, akan tetapi tidak ada alasan untuk tidak melakukan sesuatu dan hanya menjadi penonton dalam pelaksanaan pemilu 2009 yang akan menentukan Indonesia kedepan. Semoga segala niat baik dari kerendahan hati dan upaya-upaya sederhana ini dapat memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi terselenggaranya suatu pemilu yang sehat, jujur, adil dan demokratis sebagai bagian dari perjuangan keberlangsungan dan kematangan proses demokrasi kita dalam mewujudkan suatu tatanan berbangsa, bernegara yang adil dan sejahtera. Mari kita sukseskan pemilu 2009!

Dimuat di Majalah Mahasiswa Didaktika UNJ Jakarta Tahun 2009

0 komentar:

Posting Komentar