Minggu, 12 Juli 2009

Perda, Apakah Sebuah Solusi ?

Jam menunjukan pukul 9 Pagi, seperti hari biasanya kota Bandung selalu diisi dengan segala kesibukan dan aktifitas para penduduknya. Tak terkecuali di jalan Dipenogoro No 22 Bandung, tepatnya di gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Jawa Barat.
Setelah melewati perdebatan yang cukup a lot antara pihak pemerintah dan para difabel, akhirnya Rabu 3 Oktober 2006 diadakan rapat Paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPRD Jabar H.A.M Ruslan dan pemerintah Provinsi Jabar yang diwakili oleh wakil Gubernur Nur’man Abdul Hakim untuk penandatanganan persetujuan bersama, tentang pengesahan Peraturan Daerah (Perda)mengenai penyelenggaraan perlindungan untuk kaum difabel yang sudah ditunggu hampir 7 tahun yang lalu oleh mereka (Difabel red).
Isi dari Perda ini adalah mengatur tentang kesamaan kesempatan untuk para difabel, baik dalam masalah pendidikian, pelayanan kesehatan, kesempatan untuk mendapatkan peluang pekerjaan dan aksesibilitas. Sanksi yang ditetapkan masih mengadopsi pada UU No 4 Tahun 1997, yaitu sanksi administrative berupa denda 200 juta rupiah dan sanksi Pidana kurungan 6 bulan penjara.
Ini merupakan babk baru dalam sejarah Otonomi daerah di Indonesia dan sebagai kunci awal menghapus stigma dan diskriminasi terhadap kaum difabe di Jawa barat. Bagaimana tidak, Perda ini merupakan Perda pertama kali di Indonesia yang membahas tentang perlindungan difabel, “artinya bagi para difabel, khususnya di Jabar, mereka perlu berbahagia dengan ditetapkannya Perda ini, karena selama ini UU yang ada, misalnya UU No 4 Tahun 1997 dan PP No 43 Tahun 1998 itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, jadi dengan adanya Perda ini mudah-mudahan para pejabat setempat serta masyarakat di daerah Jabar ini terdorong untuk melaksanakan UU dan PP tersebut” tutur Amad Adib selaku Wakil Ketua Komisi A DPRD saat ditemui kru Jumpa di ruangannya.

Berawal dari kekecewaan
Tidak semudah seperti yang dibayangkan, pengesahan Perda ini melawati perjalanan yang sangat panjang. Tahun 1997 lalu, pemerintah telah mengeluarkan UU No 4 tentang difabel, UU tersebut membahas tentang hak kaum difabel dalam mendapatkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, sama seperti masyarakat lain pada umumnya. Tahun 1998 Pemerintah kembali mengeluarkan peraturan (Peraturan Pemerintah) No 43 tentang upaya peningkatan kesejahteraan difabel. Namun peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah tidak dijalanmkan oleh para aparatur pemerintah sebagaimana mestinya “Walau pun sudah ada UU, implementasinya masih jauh” tutur Jumono selaku Ketua Forum Perjuangan Difabel (FORADI).
Akhrnya pada 1999 bergulir wacana di kalangan para difabel untuk mengusulkan harus adanya Perda tentang perlindungan difabel. Beberapa kelompok yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda Pelajar Tuna Netra, pada 1999 mengusulkan harus adanya perlindungan untuk kaum difabel pada pihak DPRD Jabar. Namun waktu itu hanya bersifat wacana, karena dengan harapan pihak pemerintah yang akan menindaklanjuti wacana tersebut, “dari pihak pemerintah sendiri pun berjanji akan menindaklanjuti, tapi tatkala kami dari pihak difabel menanyakan kepada pihak DPRD, mereka selalu berdalih tidak adanya anggaran dari pusat,” tutur Yudi Yusfar selaku coordinator Komunitas difabel untuk Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA).
Karena tidak puas dengan jawaban yang mereka terima dari DPRD, setahun kemudian para difabel kembali menggulirkan wacana tentang harus adanya Perda, akan tetapi jawaban yang diterima sama dengan tahun sebelumnya, “hal tersebut akan kami tamping,” ungkap Yudi sambil memeragakan jawaban dari pihak DPRD.
Tahun berikutnya, Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) wilayah Jabar sepakat untuk mengajukan konsep secara tertulis, yaitu dengan memberikan draft Raperda langsung kepada DPRD, tentu saja setelah melawati beberapa tahapan, seperti pembentukan tim Raperda, inventarisai permasalahan yang akan diajukan dalam Raperda tersebut, lalu penyelenggaraan penghalusan dan pengayaan isi Raperda dengan menyelenggarakan symposium, diskusi dan tukar pendapat dengan para pakar ahli seperti Sosiolog, Hukum Kesehteraan Sosial dan Pendidikan. Setelah melewati tahapan-tahapan tersebut, para difabel langsung menyerahkan draft kepada DPRD untuk selanjutnya mereka bahas, setelah draft tersebut diterima oleh pihak DPRD Komisi A, para difabel masih mengalami kesulitan, “kami dari difabel kembali mengalami kesulitan, tidak ada tindak lanjut dari pihak DPRD” tutur Yudi.
Bersamaan dengan itu, para difabel juga melakukan lobi dengan pihak LSM dan Perguruan Tinggi. Memasuki tahun 2003, berbagai pihak dari organisasi difabel yang lainnya mengusulkan hal yang sama, yaitu harus adanya Perda tentang perlindungan untuk difabel seperti dari Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) wilayah Jabar, Persatuan Tuna Netra Indonesia dan Forum Pekerja Hak tetap Tuna Netra Indonesia. Walaupun spesifikasinya berbeda, namun tetap satu tujuan, “hal tersebut juga sempat dibahas sebentar oleh DPRD, dan lagi-lagi mengalami stagnasi, wallahuallam kenapa,” tutur Yudi.

DPRD cendrung memilah-milih
Angin segar pun berhembus pada 2005, dimana Menteri dalam Negeri menayangkan surat No 10 Tahun 2005 kepada para pejabat daerah tentang perlunya penanganan terhadap para difabel, surat tersebut diperkuat ketika Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membacakan pidato di Istana Negara bertepatan dengan hari penyandang cacat nasional. Dalam pidatonya SBY memberikan mandate agar setiap Gubernur, Wali Kota dan Bupati untuk membuat Perda tentang difabel. Seelah adanya perintah langsung dari Presiden dan Menteri, para Pejabat Pemerintahan Pun termasuk DPRD mujlai serius membahas Raperda tersebut. Yudi mengungkapakan kalau DPRD selalu meilah-milih untuk membahas Perda, “Padahalkan tidak mesti begitu dalam membuat sebuah aturan, apalagi ini menyangkut tentang kepentingan social, mau yang mana juga harus disamakan” katanya.
Para difabel tidak mengharapakan sesuatu yang lebih untuk menjalani hidupnya, yang mereka inginkan adalah mendapatkan kesamaan kesempatan seperti masyarakat lain pada umumnya. Mungkin yang menjadi kendala bukanlah dari hal anggaran untuk membuat sebuah Perda. Tetapi akibat dari kurangnya pemahaman tentang difabel itu sendiri yang menjadi permasalahan, “seperti yang kita tahu, selalu melihat kepentingan dan keuntungan, jadi mana yang lebih menguntungkan untuk pribadi, itu yang didahulukan,” keluh Yudi. Pemerintah menganggap Perda tentang difabel ini tidak memunyai nilai jual, sehingga mengakibatkan para wakil rakyat tidak bersemangat untuk membahasnya.
Yang diharapkan dari pihak difabel sekarang adalah menunggu implementasi dari pihak pemerintah, karena selalu terbesit pertanyaan dari para difabel, apakah setelah disahkan Perda ini hanya akan menjadi sebuah draft untuk menambah prestasi pemerintah Daerah tanpa diimplementasikan, karena jika berkaca pada peraturan sebelumnya yaitu UU No 4 Tahun 1997 dan PP No 43 Tahun 1998 dimana implementasinya bisa dibilang tidak ada, “Kalau mau hitungkan, sudah berapa tahun peraturan-peraturan itu ada, tapi tetap saja kami (difabel) belum merasakan efek dari aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” keluh Yudi.
Maka agar Perda tersebut dapat berjalan dengan lancar sebagaimana yang diharapkan, Ahmad Adib ketika ditemui di ruangannya menjelaskan, akan dibentuknya Lembaga Koordinasi Penyelenggaraan Kesejahteraan difabel yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan Perda. Lembaga ini melibatkan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, para ahli serta dari para difabel itu sendiri, “Agar tidak ada negosiasi lagi, artinya siapa pun yang tidak melaksanakan aturan yang telah ditetapkan, maka akan langsung dijerat sanksi sebagaimana yang dicantumkan dalam isi Perda,” tuturnya.

Di muat di Tabloid JUMPA
Edisi 31 Tahun 2006

2 komentar:

Anonim mengatakan...

oh ini blog lo, ngga....

Angga mengatakan...

yoi.....

Posting Komentar